selamat datang di yasnaya polyana indonesia
SELAYANG PANDANG
Padepokan Filosofi dan Pondok Tani Organik Yasnaya Polyana merupakan konkretisasi antara Padepokan Filosofi sebagai sumber pemikiran dan pencerahan, serta Pondok Tani sebagai sumber penghidupan. Sebagai sumber pemikiran, Padepokan Filosofi bergerak dalam ranah advokasi filosofis anti pembodohan rakyat, sedangian sebagai sumber kehidupan, Pondok Tani bergerak dalam ranah advokasi pertanian organic agar mencapai kekuatan dan kemandirian. Padepokan ini mengambil nama tempat Leo Tolstoy bermukim untuk mendidik petani dan mengembangkan karya-karya penulisan sastra dan kemanusiaan. Dengan nama Yasnaya Polyana diharapkan padepokan ini dapat mengilhami pencerahan intelektual dari Masyarakat desa untuk kehidupan pertanian dan kaum marhaen bangsa Indonesia. Padepokan ini juga merupakan wadah pembenihan dan penumbuhan advokasi filosofis yang merupakan wadah pertama di Indonesia yang telah dimulai sejak tahun 1995. Filosofi padepokan ialah pencerahan bagi para pengarang dan kaum professional lainnya yang memadukan dunia ide dan kenyataan sebagai fenomena kehidupan intelektual sehari-hari. Padepokan ini memfasilitasi mereka dalam berkreasi dan menulis. Ide dan kenyataan dua sisi kehidupan yang saling memaknai, terpadu dan meningkatkan nilai tertinggi harkat kemanusiaan kita melalui penalaran dan kesadaran yang kritis. Dengan makna Yasnaya Polyana (Sunlit Meadows), padepokan ini bisa menjadi pusat ziarah filosofis bagi siapa saja yang ingin kehidupannya tercerahkan dalam kesederhanaan. Padepokan ini cocok juga untuk menempah kader-kader kepemimpinan bangsa dari sudut kemampuan berpikir dan bermoral.
Didirikan oleh Ashoka Siahaan, pemikir dan filsuf pergerakan pertanian dan kebangsaan. Visi pencerahan dan advokasi pertanian organik merupakan dua hal yang melatarbelakangi berdirinya Yasnaya Polyana. Selain itu, juga persoalan kebangsaan seperti demokrasi, ekologi, komunikasi, toleransi, perdamaian, kemanusiaan, pendidikan, ilmu pengetahuan maupun kesejahteraan manusia yang disebabkan oleh kemerosotan akal fikiran sehingga sangat memerlukan advokasi filosofis guna mengembangkan kebebasan berpikir kritis masyarakat dan membangun visi bahwa filsafat bukan monopoli segelintir manusia.
Tentang Kami
LATAR BELAKANG
Saya memulai dengan pertemuan mingguan yang kami namakan forum“Selasaan” di Sosietas Prometheus kami, di mana kami berkumpul dari berbagai tempat, latar belakang sosial budaya dan profesional pada tahun 1992 pada saat bangsa Indonesia masih berada di bawah rezim Orde Baru. Di mana aktivitas berkumpul dan berserikat sangat diawasi oleh Pemerintah. Namun karena keyakinan kami untuk membentuk kelompok intelektual yang merangkul semua kalangan, aktivitas ini tetap berjalan dan kami perjuangkan. Melalui banyak diskusi mengenai masa-masa krusial itu, kami juga telah mendirikan penerbit Yayasan Sumber Agung dan menerbitkan buku-buku tentang Filsafat dan budaya (1992).
Pertemuan mingguan ini juga semakin memantapkan hati saya untuk membangun ashram yang berwawasan filosofis dan kultural agar dapat menyalurkan pemikiran dan ilmu pengetahuan kami ke pelosok-pelosok Indonesia. Dan saya memulai tahun-tahun itu untuk memperluas jaringan kami dengan beberapa lembaga sosial, budaya, dan spiritual seperti Ashram Gandhi di Bali yang didirikan dan dikelola oleh sahabat kami, Ibu Gedong Bagus Oka. Dengan program jaringan ini, saya merenungkan bahwa saya harus memilih ashram filosofis yang lebih fundamental bagi pencerahan budaya dan perdamaian. Oleh karena itu, pada tahun itu (1993) saya memutuskan untuk memilih Leo Tolstoy sebagai inspirasi pemikiran kami. Ada banyak program yang saya ikuti bersama Ashram Gandhi sehubungan dengan WCRP (Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian). Tolstoy dapat menjembatani antara timur dan barat, di bawah simbol Yasnaya Polyana.
Pada tahun yang sama, Sosietas Prometheus ini dihadiri oleh DCM Kedutaan Besar India yang kemudian menjadi Duta Besar India untuk Indonesia, Ibu Navreeka Sharma. Beliau juga memperkenalkan saya kepada Bapak Nazareth (Direktur Gandhi Institute di India), yang kemudian menghubungkan saya dengan teman sekaligus anggota institutnya, yaitu Bapak Vladimir Tolstoy, melalui email. Sungguh mengejutkan bahwa kunjungan beliau (Vladimir Tolstoy) ke Yasnaya Polyana di Purwokerto, Jawa Tengah, pada tahun 2011 untuk menghadiri upacara peresmian Aula Tolstoy dan pembukaan pameran Pelukis Muda di Purwokerto-Banyumas.
Peristiwa yang paling berkesan buat saya adalah ketika diundang ke Kongres Filsafat Dunia yang diselenggarakan FISP (Federation Internationale des Societes de Philosophie) tahun 1993 di Moskow yang dipandu oleh Prof. Frolov dari Direktur Akademi Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Rusia dan dibuka oleh mantan Presiden Mikhail Gorbachev. Di antara sesi-sesi Kongres selama satu minggu itu, saya memperoleh banyak kesempatan dan mengunjungi Yasnaya Polyana di Tula, kemudian memperkenalkan Yasnaya Polyana di Jawa kepada banyak sahabat baru kita yang memiliki latar belakang budaya dan filsafat dalam beberapa kesempatan yang diadakan oleh Kongres di Moskow dan St. Petersburg.
Pada akhir tahun 1993 Yasnaya Polyana di Purwokerto-Jawa Tengah dibangun selangkah demi selangkah dengan tangan dan hati beberapa teman dekat dan diikuti oleh banyak simpatisan hingga saat ini.
IDE DASAR
Yasnaya Polyana sendiri dalam arti sastra adalah "Padang Rumput yang Terang Matahari" yang memiliki arti filosofis "pencerahan" dan harus dihubungkan dengan kehidupan nyata dan alam juga. Kehidupan nyata lingkungan kita dan orang-orang yang menghasilkan makanan kita, yaitu petani. Ide saya adalah untuk menempatkan kedua makna ini ke Yasnaya Polyana di Purwokerto-Jawa Tengah agar lebih kontekstual dengan menambahkan kata "Padepokan" (Ashram) dan "Pondok" (Rumah) Tani (rumah petani). Oleh karena itu ide-ide penghubung ini menghubungkan antara yang idialistik dengan kehidupan realistis di sisi lain. Hal ini harus menghubungkan dua dunia; Konsep dan praktis. Untuk menjembatani dua dunia ini saya menggunakan istilah populer "Advokasi" tidak hanya untuk aspek hukum atau sosial tetapi saya harus mengatakan itu juga sebagai Advokasi Filosofis.
Selalu teman-teman saya bertanya mengapa saya harus memilih nama Yasnaya Polyana, mengapa tidak menggunakan nama atau kata-kata Indonesia. Saya mencoba untuk menempatkan Indonesia tidak dikecualikan dari pandangan dunia. Sahabat saya Sukmawati Soekarnoputri pernah menasehati saya dalam Prometheus Gathering (tahun 1997) untuk memilih nama yang baik dalam konteks Indonesia, dan saya menjelaskan kepadanya bahwa Yasnaya Polyana adalah milik semua manusia. Mungkin ini harus dipertimbangkan bahwa Yasnaya Polyana memiliki beberapa ide di baliknya, bahwa itu adalah ide-ide universal Leo Tolstoy, bahkan Mahatma Gandhi pernah menggunakannya untuk mengekspresikan perjuangannya di Afrika Selatan. Bahkan Soekarno dalam pidato pertamanya deklarasi Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 mengutip Leo Tolstoy tentang penekanannya pada humanisme. Tolstoyan menjadi universal.
Mengapa harus Tolstoy? Melalui karya-karyanya terdapat banyak gagasan yang tidak hanya dipengaruhi oleh Dickens, J.J. Rousseau, dan Socrates, tetapi juga memengaruhi para penulis, teologian, filsuf, politisi, aktivis sosial, dan seniman modern. Tolstoy menginspirasi orang-orang di seluruh dunia dalam mengejar kebahagiaan, menjembatani Timur dan Barat (seperti novel Haji Murad), makna seni, dan keseimbangan estetika, maupun Kerajaan Tuhan. Oleh karena itu, di luar Yasnaya Polyana, terdapat gagasan-gagasan hebat yang menantang kita menghadapi permasalahan masyarakat paradoks modern berupa kreativitas dan ketidaktahuan manusia (avidya), kesengsaraan dan kemewahan, pembentukan dan perubahan budaya yang progresif, gaya hidup kosmopolitan yang rakus, pendidikan hidup sederhana serta Pendidikan sepanjang hayat. Akan sulit di masa depan menghadapi degradasi manusia dari mentalitas konsumtif dan karakter perbudakan, terutama bagi mereka yang disebut intelektual yang seharusnya memiliki dan mempertahankan semangat Prometheus, dan tidak menjadi le traison d’intellectuele.
Pasca reformasi politik besar-besaran tahun 1998, kita hidup dalam bentuk mentalitas yang berbeda. Selama 30 tahun, rakyat terpinggirkan karena rezim politik yang tertindas, yang berdampak pada fenomena budaya yang terpinggirkan. Setelah itu, tidak ada lagi yang namanya kepinggiran, totalitas berubah menjadi masyarakat yang tuli. Antar sesama, baik secara horizontal maupun vertikal, semua orang saling bicara, alih-alih mendengarkan, dan menjadi egois, mengejar nilai-nilai materialistis demi "kebahagiaan", jauh dari masyarakat yang waras. Pemerintah menjadi tuli terhadap rakyat, dan rakyat pun menjadi tuli satu sama lain. Kita hidup dalam suasana yang biasa-biasa saja.
Setidaknya kaum intelektual harus melawan ketulian ini untuk mencerahkan kedua belah pihak, mengatasi mediokritas dan lebih menyadari kreativitas dan advokasi. Implikasi dari ketulian ini dapat membentuk seseorang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa (avidya) dan bermentalitas oportunis.
Dengan pengorbanan yang begitu besar terhadap kehidupan petani, para intelektual gerakan baru ini harus sungguh-sungguh memperjuangkan perdagangan adil dan koperasi bagi masyarakat. Dan dalam hal ini Yasnaya Polyana mengajak untuk bergabung dengan gerakan intelektual baru. Kami juga mengajak semua teman kita untuk mengembangkan konsep Agroart, Agriliterasi, dan Agrowisata dalam bingkai nature, villager, and culture. Dengan melakukan ini, kita akan menyelamatkan masyarakat dari kebodohan dan kelaparan, kita harus bisa dan seharusnya dapat menyelamatkan generasi muda kita di masa depan.
Misi Kami
Pengenalan fenomena kehidupan kesederhanaan bagi kalangan intelektual dan perjuampaan dengan kehidupan sehinga memperkecil jurang antara ide dan kenyataan melalui perjumpaan dengan berbagai pemikiran untuk pencerahan umat manusia. Dengan demikian membuktikan kekuatan berfikir dan bertindak sama kuatnya dalam kehidupan manusia.
Kecintaan pada kreatifitas dalam berkarya untuk pencerahan kehidupan organik baik tani maupun pemikiran.
Tempat berkumpul, sharing dan media pembelajaran bagi kala- ngan penulis, pengarang, dan profesional lainnya.
Advokasi Filosofis yaitu cinta kebenaran, kebijaksanaan, kritis, pencerahan untuk semua golongan manusia dan filosofi bukan monopoli segelintir manusia.
Selayang Pandang
Didirikan oleh Ashoka Siahaan, pemikir dan filsuf pergerakan pertanian dan kebangsaan. Visi pencerahan dan advokasi pertanian organik merupakan dua hal yang melatarbelakangi berdirinya Yasnaya Polyana. Selain itu, juga persoalan kebangsaan seperti demokrasi, ekologi, komunikasi, toleransi, perdamaian, kemanusiaan, pendidikan, ilmu pengetahuan maupun kesejahteraan manusia yang disebabkan oleh kemerosotan akal fikiran sehingga sangat memerlukan advokasi filosofis guna mengembangkan kebebasan berpikir kritis masyarakat dan membangun visi bahwa filsafat bukan monopoli segelintir manusia.

Kami yang terus bergerak
Kami bergerak bersama untuk memajukan kehidupan manusia dengan berupaya karsa dalam kesederhanaan hidup yang selaras dan seimbang antara berpencerahan dan berpenghidupan.


Ashoka Siahaan
Founder


Warseno


Rousseau Jordan Angelo

